Sekolah
merupakan lembaga pendidikan. Sekolah bukan pengadilan yang bertugas untuk
memberi hukuman kepada siswa yang bersalah. Oleh karena itu, semua yang
dilakukan di sekolah harus dapat dimaknai sebagai (bagian dari) proses
pendidikan, termasuk di dalamnya ketika mesti memberikan hukuman kepada siswa
yang bersalah.
Terus….,
apakah dengan demikian siswa yang melakukan kesalahan sebaiknya dibiarkan saja?
Tentu saja tidak seperti itu. Siswa yang bersalah memang harus diberi sanksi
supaya menimbulkan efek jera, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi
siswa lain. Oleh karena itu, memberi ‘hukuman’ kepada siswa sebenarnya bukan
merupakan hal yang sederhana. Di satu sisi, hukuman harus ‘membebani’ siswa
untuk memberikan efek jera itu tadi, tapi di sisi lain harus menjadi bagian
dari proses pendidikan.
Ada
beberapa hukuman ‘tradisional’ yang dulu banyak dipraktekkan, seperti berdiri
di depan kelas sambil mengangkat satu kaki atau memegang telinga, berlari
keliling lapangan sekolah, menulis “saya tidak nakal lagi” 1000 kali, push up,
dan sebagainya. Untunglah model-model hukuman yang menyiksa fisik tapi tak
jelas manfaatnya itu sudah jarang dipraktekkan. Tapi bukan berarti hukuman
model sekarang sudah baik semua. Yang jelas Pakar pendidikan dari manapun tidak
membenarkan adanya hukuman fisik diterapkan di sekolah.
Coba
bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh salah satu dosen saya waktu kuliah.
Beliau juga ingin supaya mahasiswanya rajin kuliah. Jadi, pada tataran tujuan,
sama lah.. Yang berbeda adalah hukuman atau sanksinya. Beliau membuat aturan,
bahwa mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80% harus membuat karya tulis
(paper). Itu menurut saya salah satu bentuk hukuman yang mendidik. Apa yang
dilakukan oleh dosen saya itu saya kira bisa diterapkan oleh siapa saja yang
berprofesi sebagai pengajar. Daripada menyuruh pulang siswa, atau menulis
kalimat ratusan kali yang tak jelas manfaatnya, bahkan samapai menjemur siswa
di bawah terik matahari disaksikan oleh semua warga sekolah sungguh ini sangat
menunjukkan bahwa kita belum layak disebut sebagai pendidik, mengapa tidak
mempertimbangkan berbagai bentuk hukuman yang mendidik seperti membaca buku di
perpustakaan yang meminta siswa meringkasnya, menyuruh siswa menulis puisi,
minta siswa membuat kliping koran, mencari informasi dari internet, dsb. Jika
kesalahan dilakukan secara kolektif oleh banyak siswa, membersihkan kelas juga
termasuk hukuman mendidik.
Hukuman
yang baik juga tidak boleh ‘mempermalukan’ siswa yang membuat kesalahan. Ini
prinsip yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dipraktekkan, terutama karena
sensitivitas anak berbeda-beda. Ada yang cepat merasa malu, ada yang tidak.
Tapi guru yang baik sensitif terhadap perbedaan kepribadian siswanya, sehingga
dapat menakar hukuman yang diberikan agar tidak mempermalukannya. Karena
hukuman yang memperlakukan biasanya justru membangkitkan naluri ‘dendam’ dan
berpotensi membuat siswa membuat kesalahan lain yang lebih besar.
Tapi,
apa pun kesalahan yang dibuat oleh siswa, opsi pertama yang diambil oleh
guru/dosen sebaiknya adalah “tanpa hukuman”. Kalau tanpa hukuman siswa yang
melakukan kesalahan bisa memperbaiki perilakunya, mengapa mesti dihukum? Dalam
banyak kasus, siswa dapat menjadi lebih baik jika diajak bicara dari hati ke
hati.
Yang
pasti, jika memang harus ada hukuman, apa pun bentuk hukuman yang diberikan,
hukuman itu tidak boleh menghilangkan hak anak/siswa untuk belajar. Mari
jadilah Guru yang SMART. “Marahnya pun tetap membawa manfaat buat siswanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar