- See more at: http://zicblogger.blogspot.com/2013/02/Cara-Memasang-Widget-Share-Button.html#.USVBGTcwiho - See more at: http://zicblogger.blogspot.com/2013/02/Memasang-Floating-Share-Button-di-Blog.html#.USVFCTcwiho

Selasa, 17 Januari 2012

BERHATI-HATILAH MEMBERIKAN HUKUMAN KE ANAK DIDIK


Sekolah merupakan lembaga pendidikan. Sekolah bukan pengadilan yang bertugas untuk memberi hukuman kepada siswa yang bersalah. Oleh karena itu, semua yang dilakukan di sekolah harus dapat dimaknai sebagai (bagian dari) proses pendidikan, termasuk di dalamnya ketika mesti memberikan hukuman kepada siswa yang bersalah.
Terus…., apakah dengan demikian siswa yang melakukan kesalahan sebaiknya dibiarkan saja? Tentu saja tidak seperti itu. Siswa yang bersalah memang harus diberi sanksi supaya menimbulkan efek jera, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi siswa lain. Oleh karena itu, memberi ‘hukuman’ kepada siswa sebenarnya bukan merupakan hal yang sederhana. Di satu sisi, hukuman harus ‘membebani’ siswa untuk memberikan efek jera itu tadi, tapi di sisi lain harus menjadi bagian dari proses pendidikan.
Ada beberapa hukuman ‘tradisional’ yang dulu banyak dipraktekkan, seperti berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki atau memegang telinga, berlari keliling lapangan sekolah, menulis “saya tidak nakal lagi” 1000 kali, push up, dan sebagainya. Untunglah model-model hukuman yang menyiksa fisik tapi tak jelas manfaatnya itu sudah jarang dipraktekkan. Tapi bukan berarti hukuman model sekarang sudah baik semua. Yang jelas Pakar pendidikan dari manapun tidak membenarkan adanya hukuman fisik diterapkan di sekolah.
Coba bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh salah satu dosen saya waktu kuliah. Beliau juga ingin supaya mahasiswanya rajin kuliah. Jadi, pada tataran tujuan, sama lah.. Yang berbeda adalah hukuman atau sanksinya. Beliau membuat aturan, bahwa mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 80% harus membuat karya tulis (paper). Itu menurut saya salah satu bentuk hukuman yang mendidik. Apa yang dilakukan oleh dosen saya itu saya kira bisa diterapkan oleh siapa saja yang berprofesi sebagai pengajar. Daripada menyuruh pulang siswa, atau menulis kalimat ratusan kali yang tak jelas manfaatnya, bahkan samapai menjemur siswa di bawah terik matahari disaksikan oleh semua warga sekolah sungguh ini sangat menunjukkan bahwa kita belum layak disebut sebagai pendidik, mengapa tidak mempertimbangkan berbagai bentuk hukuman yang mendidik seperti membaca buku di perpustakaan yang meminta siswa meringkasnya, menyuruh siswa menulis puisi, minta siswa membuat kliping koran, mencari informasi dari internet, dsb. Jika kesalahan dilakukan secara kolektif oleh banyak siswa, membersihkan kelas juga termasuk hukuman mendidik.
Hukuman yang baik juga tidak boleh ‘mempermalukan’ siswa yang membuat kesalahan. Ini prinsip yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dipraktekkan, terutama karena sensitivitas anak berbeda-beda. Ada yang cepat merasa malu, ada yang tidak. Tapi guru yang baik sensitif terhadap perbedaan kepribadian siswanya, sehingga dapat menakar hukuman yang diberikan agar tidak mempermalukannya. Karena hukuman yang memperlakukan biasanya justru membangkitkan naluri ‘dendam’ dan berpotensi membuat siswa membuat kesalahan lain yang lebih besar.
Tapi, apa pun kesalahan yang dibuat oleh siswa, opsi pertama yang diambil oleh guru/dosen sebaiknya adalah “tanpa hukuman”. Kalau tanpa hukuman siswa yang melakukan kesalahan bisa memperbaiki perilakunya, mengapa mesti dihukum? Dalam banyak kasus, siswa dapat menjadi lebih baik jika diajak bicara dari hati ke hati.
Yang pasti, jika memang harus ada hukuman, apa pun bentuk hukuman yang diberikan, hukuman itu tidak boleh menghilangkan hak anak/siswa untuk belajar. Mari jadilah Guru yang SMART. “Marahnya pun tetap membawa manfaat buat siswanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

- See more at: http://zicblogger.blogspot.com/2013/02/Memasang-Floating-Share-Button-di-Blog.html#.USVFCTcwiho